InfoSAWIT, JAKARTA - Peneliti Sustainable Palm Oil Support Indonesia (SPOSI), M Ichsan Saif mengungkapkan, rencana pemerintahan Presiden Jokowi kedepan, telah berupaya meningkatkan campuran biodiesel serta pengembangan green fuels. Program ini bahkan masuk ke proyek strategis nasional (RPJMN 2019-2024), lantas dilanjutkan dengan pembangunan green refinery oleh Pertamina di Plaju dan Cilacap.
Program tersebut membutuhkan dana insentif dengan kebutuhan lebih tinggi, terlebih HIP green fuels mencapai Rp 14-17 ribu per liter supaya harga Biodiesel bisa mencapai Rp 10-11 ribu per liter. Pada saat ini juga terjadi perubahan struktur rantai pasok dan aktor.
Kata Ichsan Saif, dibutuhankan kajian yang matang, bila alasannya pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) sawit guna memperbaiki ketahanan energi dan defisit neraca perdagangan BBM, serta menjaga harga sawit global akibat kontroversi sawit global dan kelebihan pasokan minyak sawi.
Sebab masih terdapat peluang resiko yang harus dipertimbangkan, semisal kemampuan dana BPDPKS untuk mensubsidi biodiesel sampai sejauh mana?, bagaimana kebijakan greenfuels ke depannya dan akan seperti apa?, lantas perlu juga dipertimbangkan munculnya kompetisi pasar antara biodiesel, green fuel, dan electric vehicle.
“Terpenting akan ada peningkatan kebutuhan utamanya menyangkut perluasan lahan,” katanya dalam acara FGD SAWIT BERKELANJUTAN VOL 11, bertajuk “Minyak Sawit Sebagai Minyak Nabati Berkelanjutan Terbesar Dunia”, yang diadakan media InfoSAWIT, awal Desember 2021 lalu secara online.
Dalam laporan yang dibuat SPOS, Yayasan Kehati dan UKAid, mencatat bahwa meningkatnya permintaan biodiesel dalam negeri dan tekanan terhadap industri biodiesel Indonesia di pasar internasional telah mengubah struktur pasar biodiesel nasional.
Tercatat, pelaku usaha biodiesel lebih tertarik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan captive market daripada memasuki pasar internasional yang sarat dengan hambatan, baik berupa hambatan tarif maupun non tarif.
Dimana dalam hasil riset tersebut mencatat dari total tanggapan, sebanyak 80,8% responden menjawab bahwa pelaku usaha biodiesel fokus menggarap pasar domestik. Hanya sekitar 19,2% yang menjawab akan fokus pada pasar ekspor biodiesel.
Pertumbuhan pasar domestik yang signifikan memaksa para pelaku usaha di sektor perkebunan kelapa sawit berekspansi ke industri biodiesel. Hal ini membuat industri kelapa sawit di Indonesia semakin terintegrasi dari hulu hingga hilir. Secara ekonomi, integrasi ini dapat menciptakan efisiensi bagi perusahaan di industri pengolahan biodiesel.
Namun, pasar domestik juga semakin dinamis dengan masuknya kebijakan baru pemerintah dalam pengembangan energi terbarukan, seperti green fuel, mobil listrik, dan sebagainya, dimana pemerintah juga berencana memberikan berbagai macam insentif fiskal (ADB, 2015). Ini akan menjadi pesaing biodiesel di masa depan. Persaingan pasar sebenarnya akan berpotensi menciptakan efisiensi, namun persaingan pasar yang tidak dirancang dengan baik dapat berdampak pada keberlangsungan industri.
Pasar yang berkembang terutama dari dalam negeri menyebabkan kapasitas produksi industri biodiesel di Indonesia meningkat. Saat ini, kapasitas terpasang pabrik biodiesel telah mencapai 13,4 juta kiloliter. Kapasitas pabrik diperkirakan akan meningkat dalam lima tahun ke depan karena permintaan biodiesel dalam negeri yang lebih tinggi.
Peningkatan produksi tersebut harus dipenuhi oleh bahan baku biodiesel yaitu minyak sawit. Sebagai bahan baku utama biodiesel, peningkatan produksi akan mendorong permintaan industri biodiesel lebih besar terhadap minyak sawit. Tanpa adanya pergeseran pasar (switching demand) dari ekspor ke domestik, maka akan terjadi defisit bahan baku.
Memang saat ini defisit belum terjadi lantaran stok akhir Indonesia masih cukup besar, yakni sekitar 4-5 juta ton. Namun, jika pemerintah terus meningkatkan penggunaan biodiesel dalam negeri, misalnya menjadi B40, B50, dan B100, risiko defisit bahan baku bisa saja terjadi.
Di satu sisi, konversi lahan skala besar oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia telah menyebabkan peningkatan laju deforestasi, terutama di hutan hujan tropis (Gaveau et al. 2016; dan Vijay, 2016). Pembukaan lahan dengan pembakaran juga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan skala besar, yang menyebabkan peningkatan emisi. Konversi lahan gambut juga meningkatkan risiko membahayakan ekosistem lahan basah di Indonesia dan Malaysia (Malins, 2017; dan Wijedasa et al., 2017).
Perhitungan blending biodiesel yang dilakukan oleh LPEM FEB UI (2020) mencatat bila pemerintah menetapkan blending rate 50% (B50) untuk di tahun 2021 (perkiraan), maka pada tahun 2025 akan terjadi akumulasi defisit minyak sawit mencapai 108 juta ton atau rata-rata 21,6 juta ton per tahun. Semakin agresif pemerintah meningkatkan pencampuran biodiesel, semakin besar defisit minyak sawit. (T2)
Sumber: Majalah InfoSAWIT edisi Januari 2022