InfoSAWIT, JAKARTA -Kondisi global yang mengalami pandemi korona berjilid-jilid saat ini, memang banyak memunculkan stagnasi di berbagai sektor, termasuk perdagangan minyak nabati. Banyaknya pembatasan dan keterbatasan, secara nyata turut menekan laju pertumbuhan produksi minyak nabati global termasuk minyak sawit. Imbasnya, harga jual komoditi ini terus merangkak naik menjadi kian mahal.
Pesatnya permintaan pasar minyak nabati, secara linier telah menaikkan harga jual minyak sawit hingga dewasa ini. Lantaran konsumen global yang menurun aktivitasnya, telah menyebabkan kenaikan konsumsi penggunaan minyak sawit sebagai minyak makanan. Alhasil, produsen makanan yang menggunakan minyak sawit juga meningkat dan menyebabkan harga minyak sawit kian meninggi.
Kendati banyak keluhan dari konsumen akan mahalnya minyak sawit, namun di sisi lain, produsen minyak nabati lainnya juga banyak mengalami penurunan produksi hingga kesulitan dalam memasok produknya akibat terjadinya perang (Rusia menyerang Ukraina). Akibatnya, permintaan tambahan terhadap minyak sawit kembali terjadi, demi memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan minyak makanan dari minyak nabati.
Inilah keistimewaan dari minyak nabati, lantaran penggunaannya bisa digantikan dari pasokan minyak nabati lainnya. Sebab itu, minyak kedelai, minyak biji matahari, minyak rapeseed/kanola, dan minyak sawit kian mendominasi pasokan terhadap kebutuhan konsumen global akan minyak nabati. Hebatnya minyak sawit, telah menjadi minyak nabati paling populer dan paling banyak dikonsumsi masyarakat global.
Pasar Ekspor Minyak Sawit Bertumbuh
Konsumsi terbesar dari minyak sawit asal Indonesia, memang berasal dari meningkatnya permintaan pasar ekspor, yang makin membutuhkan minyak sawit untuk minyak makanan. Lantaran lebih dari 85%, penggunaan minyak sawit di pasar global, masih sebagai minyak makanan, sedangkan sebanyak 15% digunakan sebagai minyak lainnya, termasuk bahan bakar nabati.
Kendati komposisi pasar domestik di Indonesia, terus mendorong penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati atau biodiesel. Namun, secara faktual, penggunaan biodiesel, masih jauh dari target yang telah ditetapkan pemerintah. Sebagai informasi, perjalanan mandatori penggunaan biodiesel, telah dilakukan secara bertahap, dari B2,5 hingga B30.
Namun kendala terbesar dari bisnis biodiesel, masih berkutat di persoalan harga jualnya yang harus bersaing dengan harga bahan bakar minyak yang berasal dari petroleum. Alhasil, pemberian insentif atau subsidi terhadap biodiesel terus dilakukan hingga dewasa ini. Keberadaan pajak ekspor (Bea Keluar) dan Pungutan ekspor (PE), terus digunakan sebagai instrumen pemerintah demi subsidi biodiesel.
Kendati masih ada penggunaan dana untuk hal-hal lainya, namun secara prosentase, jelas terlihat penggunaan dana paling besar, diberikan untuk insentif harga jual biodiesel. Persoalannya, sumber dana yang diberikan berasal dari jutaan petani dan karyawan perusahaan yang bekerja keras demi keberhasilan produksi kebun sawitnya. Apakah ini berkeadilan sosial?
Di sisi lain, pasar ekspor merespon hal ini, sebagai bentuk proteksi Pemerintah Indonesia terhadap industri biodiesel di dalam negeri yang terlalu berlebihan. Lantaran, kebutuhan negara-negara tujuan ekspor, lebih membutuhkan minyak sawit sebagai bahan baku bagi industrinya, yang sebagian besar masih berkutat demi minyak makanan.
Seperti negara Cina, yang selalu membutuhkan pasokan CPO dan RBD Olein demi kebutuhan minyak makanan masyarakatnya. Berdasarkan data ekspor pada 8 Februari 2022 yang dirilis Departemen Perdagangan Amerika Serikat, Cina masih mendominasi sebagai tujuan ekspor utama pembelian pertanian dan makanan di peringkat pertama, dengan pertumbuhan di tahun 2021, naik 25% dibandingkan tahun 2020.
Namun, ekspor minyak sawit asal Indonesia hingga September 2021 hanya mencapai 4,90 juta ton dibandingkan tahun 2020 yang sebesar 6,17 juta ton. Penurunan ekspor dari Cina hingga 21% ini, sebagai sinyal akan terjadinya penurunan permintaan pasar ekspor. Lantaran Cina sebagai negara tujuan ekspor pertama hingga dewasa ini.
Apa yang terjadi pada negara Cina? Berdasarkan Media Chinadialogue, yang ditulis Jiang Yifan, dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah Cina telah melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit di negaranya. Sejak tahun 1926, penanaman kelapa sawit di Cina telah dilakukan didaerah Hainan, daerah tepi utara Cina yang beriklim tropis.
Penanaman benih sawit yang berasal dari wilayah Asia Tenggara ini, telah dikembangkan sekelompok orang dalam skala perkebunan kecil dan masih terus dilakukan. Sebab itu, pemerintah Cina telah mengalokasikan dana sebesar 100 juta yuan untuk mengimpor bibit kelapa sawit dan akan menanamnya di daerah-daerah yang beriklim tropis, dengan target luas lahan mencapai 1,3 juta hektar.
Apabila perkebunan kelapa sawit berhasil dibangun Cina, dengan rata-rata hasil produksi mencapai 4 ton/hektar/tahun, maka Cina akan mampu menghasilkan produksi sebesar 5,2 juta ton CPO di masa depan. Alhasil, keberadaan Cina sebagai importir terbesar CPO dan produk turunannya, akan terus mengalami penurunan. Kendati di tahun 2021 lalu, penurunan volume ekspor juga sangat kuat dipengaruhi harga jual minyak sawit yang tinggi.
Turunnya permintaan pasar ekspor, secara signifikan akan menjadi sinyal kuat penurunan harga jual CPO. Sebab itu, dibutuhkan regulasi pemerintah yang mengatur secara holistik. Tidak sekedar memperkuat sebagian industri saja, tetapi harus memperkuat industri minyak sawit dari hulu hingga hilir. (*)
Editorial Majalah InfoSAWIT Edisi April 2022